top of page
  • eriska 188

Awal Mula Prostitusi pelacuran lokalisasi Di Indonesia

Prostitusi di Indonesia adalah hal yang tabu dan tidak sesuai norma yang berlaku di masyarakat serta melanggar hukum. Dalam praktiknya, prostitusi tersebar luas, ditoleransi, dan diatur. Perumahan pelacuran Indonesia yang pun dikenal dengan nama "lokalisasi", serta bisa ditemukan di semua negeri.Bordil ini dikelola di bawah ketentuan pemerintah daerah.UNICEF memperkirakan bahwa 30 persen pelacur wanita di Indonesia ialah wanita yang berusia dibawah 18 tahun.Wisata seks anak pun menjadi masalah, terutama di pulau-pulau resor laksana di Bali dan Batam.


Penyebab Alasan utama yang di pakai seorang pelacur untuk menginjak dunia prosstitusi ialah daya tarik guna mendapatkan uang secara cepat, The Jakarta Post mengadukan bahwa pelacur ruang belajar atas di Jakarta dapat mendapatkan Rp 15 juta -. Rp 30 juta (USD 1.755 guna 3.510) per bulan. Rata-rata semua pelacur ini dapat menghasilkan uang lebih dari Rp 3 juta untuk masing-masing sesi layanan mereka. Namun unsur terbesar dari jumlah mereka yang menginjak dunia prostitusi dengan dalil uang datang dari masyarakat ruang belajar menengah dan family miskin. Penyebab utama lainnya ialah adanya pola pemaksaan dan penipuan, dimana semua perempuan muda dari pedesaan dan kota-kota kecil ditawarkan kesempatan kerja di kota-kota besar. Namun sesampainya dikota semua perempuan ini diperkosa dan dipaksa guna melacurkan diri sedangkan menghasilkan uang untuk mucikari mereka. Sering pula semua orang tua menawarkan anak-anak wanita mereka untuk mucikari supaya memperoleh uang. Ada fakta yang mengejutkan 70 persen dari pelacur anak Indonesia diangkut oleh family dekat atau teman-teman ke dalam dunia prostitusi. Sejarah Sedikit daftar sejarah yang mengungkap mengenai prostitusi Indonesia pada masa sebelum penjajahan bangsa Eropa. Diperkirakan semenjak lama telah dilangsungkan pembelian budak seks dan hubungan seksual yang dilandasi hubungan yang semu lazim terjadi. Pada masa tersebarnya agama Islam Setelah penyebaran Islam di Indonesia, prostitusi diduga telah meningkat sebab ketidaksetujuan Islam pernikahan kontrak.Dalam sejarahnya raja-raja di Jawa yang mempunyai sejumlah lokasi diistananya guna ditempati sebanyak besar selir, sementara tersebut raja-raja di Bali dapat melacurkan semua janda yang bukan lagi diterima oleh keluarganya. Selama periode mula kolonial Belanda, lelaki Eropa yang berkeinginan memperoleh kepuasan seksual mulai mempekerjakan pelacur atau selir yang berasal dari perempuan lokal. Para wanita lokal dengan senang hati melakoni aksi prostitusi ini demi termotivasi oleh masalah finansial, bahkan tak jarang terdapat keluarga, yang mengemukakan anak wanita mereka guna dilacurkan. Aturan mengenai larangan pernikahan antar ras oleh penguasa kolonial menciptakan praktik prostitusi ialah hal yang paling dapat diterima oleh semua pemimpin Belanda. Pada mula tahun 1800-an praktik prostitusi mulai meluas, ketika tersebut jumlah selir dipelihara oleh tentara Kerajaan Hindia Belanda dan pejabat pemerintah menurun. Sementara eksodus laki-laki asli meninggalkan istri dan family mereka untuk menggali pekerjaan di wilayah lain pun memberikan kontribusi besar untuk maraknya praktik prostitusi pada masa itu.Pada tahun 1852 pemerintah kolonial mulai memerlukan pemeriksaan kesehatan secara tertata pelacur untuk mengecek sifilis dan penyakit kelamin lainnya. Para pelacur juga diwajibkan membawa kartu identitas kegiatan mereka, meskipun kepandaian ini tidak sukses menekan angka perkembangan prostitusi yang bertambah secara mengharukan selama periode pembangunan yang dilangsungkan secara luas sampai akhir 1800. Prostitusi di Aceh Meski sudah merealisasikan syariat Islam dalam ketentuan daerah, prostitusi masih terjadi di Provinsi Aceh. Kasus yang ditemukan paling tidak sedikit berada di Banda Aceh dan mayoritas dikelola oleh pendatang dari luar Aceh. Perempuan yang diperdagangkan masih berusia muda dan mengenakan kerudung guna mengelabui polisi syariat Aceh (wilayatul hisbah). Tempat yang menjadi tempat prostitusi yakni hotel berbintang dan penginapan. Tidak jarang pelajar wanita yang masih belajar di SMP dan SMA tercebur dalam praktik prostitusi di Aceh.


Prostitusi di Jakarta Batavia ialah nama kota Jakarta pada masa kolonial, di Batavia praktik prostitusi telah dilangsungkan secara masif pada masa VOC. Para warga Betawi melafalkan para wanita pelaku prostitusi sebagai Cabo yang diadaptasi dari bahasa Cina Caibo. Lokalisasi untuk semua cabo ini dapat ditemukan disekitaran hotel dan area niaga. Pada sebuah tempat prostitusi elit di Batavia semua perempuan didatangkan secara eksklusif oleh mucikari mereka dari Makau. Prostitusi guna kalangan rendahan biasa ditemukan di area Glodok dan Mangga Besar, dimana semua penduduk kota mengenali penyakit sifilis yang timbul dampak prostitusi tersebut sebagai penyakit mangga.

Setelah kebebasan Indonesia praktik prostitusi di Jakarta pun masih marak ditemukan. Hingga tahun 1950 di wilayah Petojo tidak sedikit ada kompleks lokalisasi tak resmi prostitusi, walau melewati tidak sedikit proses penertiban oleh pemerintah kota urusan ini masih tetap ditemukan hingga mula tahun 1980-an. Pada periode 1970-an riwayat prostitusi di Jakarta dilangsungkan dalam situasi yang paling mengkhawatirkan. Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin yang terinspirasi dari lokalisasi prostitusi di kota Bangkok mulai menerapkan kepandaian melokalisasi prostitusi ini dalam satu wilayah supaya mudah terpantau. Melalui sejumlah surat keputusan Gubernur pada tahun 1970 menginstruksikan semua wali kota guna menertibkan prostitusi yang dilangsungkan secara liar. Para mucikari yang mengerjakan uresmia prostitusi diperintahkan guna menempati area baru eksklusif prostitusi di Kramat Tunggak. Pada sejarah puncaknya pada periode 1980 sampai 1990-an komplek lokalisasi Kramat Tunggak yang berdiri diatas tanah negara seluas 11,5 ha ini dipenuhi oleh ratusan mucikari yang mempekerjakan ribuan wanita pekerja seks komersial. Lokalisasi prostitusi terbesar di Jakarta ini kesudahannya secara resmi diblokir oleh pemerintah DKI pada penghujung tahun 1999.

Prostitusi di Bangka Belitung Modus prostitusi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dilaksanakan dengan teknik yang variatif. Ada yang melibatkan rema remaja umur di bawah 18 tahun sampai mahasiswi. Ada pun yang memakai modus bangunan komersial laksana kafe dan karaoke yang bertempat dekat dengan objek wisata tetapi jauh dari pusat keramaian.Yang lainnya dilaksanakan secara terselubung oleh empunya kamar kontrakan dan penginapan. Pelaku prostitusi mayoritas datang dari luar Bangka Belitung. Prostitusi di Jawa Barat Di Provinsi Jawa Barat, prostitusi terbanyak dilaksanakan di kabupaten yang dekat dengan ibu kota Jakarta, laksana Karawang,Bogor, dan Bekasi. Bisnis yang mempekerjakan remaja tersebut berpotensi menghasilkan omzet sampai miliaran rupiah. Bisnis prostitusi demikian besarnya sampai mampu menunjang suatu format perekonomian yang menggantungkan hidupnya pada bisnis tersebut, seperti saudagar makanan dan penginapan. Prostitusi di Sulawesi Selatan Seperti halnya prostitusi di provinsi lainnya di Indonesia, prostitusi di Sulawesi Selatan juga identik dengan semua pelajar berusia di bawah 18 tahun dan bisa menjadi pintu gerbang penyebaran minuman keras dan kriminalitas. Di samping di kota besar laksana di Makassar, prostitusi pun terjadi di lokasi wisata laksana di Pantai Bira Kabupaten Bulukumba.

63 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page